Trump Panik! Iran Ancam Selat Hormuz, Harga Minyak Bisa Meroket?

devisella116@gmail.com

0 Comment

Link

Di tengah ketegangan geopolitik yang memanas, Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara tegas menyerukan peningkatan pengeboran minyak domestik secara besar-besaran. Desakan ini diungkapkannya melalui akun pribadi Truth Social pada Senin (23/6) malam waktu Indonesia, mencerminkan urgensi situasi. “Kepada Departemen Energi: NGEBOR, AYO NGEBOR!!! SEKARANG JUGA!!!” tulis Trump, menyoroti kebutuhan mendesak untuk meningkatkan produksi energi nasional.

Seruan Trump untuk memacu pengeboran minyak ini tidak terlepas dari ancaman serius yang datang dari Iran, yang berencana menutup Selat Hormuz. Jalur maritim strategis ini merupakan arteri vital bagi perdagangan minyak dunia, dilewati oleh banyak eksportir dan importir dari berbagai negara. Menurut data dari Badan Informasi Energi AS (EIA), lebih dari 20 persen konsumsi minyak harian global, atau sekitar 18 hingga 20 juta barel per hari, mengalir melalui Selat Hormuz.

Signifikansi Selat Hormuz semakin ditegaskan oleh fakta bahwa sebagian besar ekspor minyak mentah dari negara-negara anggota OPEC seperti Arab Saudi dan Iran bergantung pada jalur ini. Tidak hanya minyak, Qatar sebagai pengekspor gas alam cair (LNG) terbesar di dunia, juga mengirimkan hampir seluruh volumenya melalui selat yang sama. Posisi krusial ini menjadikan ancaman penutupan Selat Hormuz sebagai potensi disrupsi besar bagi pasar minyak dan gas global.

Sebelumnya, Donald Trump juga telah menyuarakan kekhawatiran mendalamnya terkait fluktuasi harga minyak mentah dunia, menyerukan semua pihak untuk menjaga stabilitasnya. Kenaikan harga komoditas ini, yang bahkan mencapai level tertinggi dalam beberapa waktu, terjadi setelah Amerika Serikat berkolaborasi dengan Israel melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada Minggu (22/6). “SEMUA PIHAK, JAGA HARGA MINYAK TETAP RENDAH. SAYA MENGAWASI! KALIAN SEDANG BERMAIN SESUAI SKENARIO MUSUH. JANGAN LAKUKAN ITU!” tegas Trump, menunjukkan pengawasannya terhadap dinamika pasar minyak.

Respons pasar terhadap situasi geopolitik yang memanas ini terlihat jelas. Dikutip dari Reuters pada Senin (23/6) pagi, harga minyak mentah langsung melonjak. Minyak mentah jenis Brent naik USD 1,88 atau 2,44 persen menjadi USD 78,89 per barel pada pukul 11.22 GMT. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS juga mengalami kenaikan signifikan, yakni USD 1,87 atau 2,53 persen, mencapai USD 75,71 per barel.

Di awal sesi perdagangan, kedua kontrak minyak mentah ini bahkan sempat melesat lebih dari 3 persen, dengan Brent menyentuh USD 81,40 dan WTI mencapai USD 78,40, menandai level tertinggi dalam lima bulan terakhir, sebelum akhirnya sedikit mengalami penurunan. Sejak konflik dimulai pada 13 Juni, Brent telah melonjak 13 persen, sementara WTI naik sekitar 10 persen, menunjukkan sensitivitas pasar minyak terhadap gejolak di Timur Tengah.

Proyeksi ke depan mengindikasikan bahwa harga minyak mentah dunia berpotensi terus merangkak naik, bahkan diperkirakan mencapai USD 130 per barel. Skenario terburuk ini akan terealisasi jika konflik yang terjadi tidak kunjung mereda, terutama jika ancaman Iran untuk benar-benar menutup Selat Hormuz menjadi kenyataan, yang akan memicu krisis pasokan energi global yang lebih serius.

Tags:

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar