Harga Minyak Anjlok! Gencatan Senjata Iran-Israel Picu Penurunan 5%

devisella116@gmail.com

0 Comment

Link

KONTAN.CO.ID. Harga minyak dunia anjlok sekitar 5% mencapai level terendah dalam dua pekan pada Selasa (24/6). Penurunan signifikan ini terjadi menyusul pengumuman gencatan senjata antara Israel dan Iran, yang berhasil meredakan kekhawatiran pasar akan terganggunya pasokan minyak dari Timur Tengah yang vital.

Namun, harapan akan stabilitas pasar seakan sirna ketika gencatan senjata tersebut terbukti rapuh. Hanya beberapa jam setelah diumumkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menuduh kedua belah pihak telah melanggarnya, kembali memicu ketidakpastian. Di tengah gejolak ini, seperti dilansir Reuters, harga minyak Brent terkoreksi US$3,29 atau 4,6% menjadi US$68,19 per barel pada pukul 10.43 EDT (21.43 WIB). Senada, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) anjlok US$3,20 atau 4,7% menjadi US$65,31 per barel.

Angka ini menempatkan kedua kontrak minyak tersebut pada jalur penutupan terendah sejak 10 Juni, yakni periode sebelum Israel melancarkan serangan mendadak ke fasilitas militer dan nuklir Iran pada 13 Juni.

Situasi semakin tegang dengan laporan ledakan yang masih terdengar di Teheran pada Selasa, meskipun Presiden Trump sebelumnya mengklaim telah meminta Israel membatalkan serangan udara demi mempertahankan gencatan senjata. Menyikapi perkembangan ini, Trump secara terang-terangan menyatakan kekecewaannya kepada wartawan: “Saya tidak suka fakta bahwa Israel langsung menyerang setelah kesepakatan dicapai. Mereka tidak harus melakukannya, dan saya juga tidak suka balasan yang sangat kuat dari pihak seberang.”

Selain eskalasi ketegangan, harga minyak dunia juga tertekan oleh pernyataan Trump di platform Truth Social. Ia menyebutkan bahwa China kini berpotensi besar untuk kembali membeli minyak dari Iran, sebuah prospek yang sontak memicu kekhawatiran serius akan pasokan berlebih di pasar global.

Ironisnya, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, sebelumnya telah mengumumkan perintah untuk melancarkan serangan baru ke target di Teheran. Langkah ini diambil sebagai respons atas dugaan serangan rudal dari Iran, yang dinilai sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap gencatan senjata. Namun, Teheran dengan tegas membantah tuduhan penembakan rudal tersebut, menambah kompleksitas konflik Timur Tengah.

Ketegangan yang berlangsung selama 12 hari terakhir telah memicu volatilitas tinggi di pasar minyak. Pada Senin (23/6) saja, minyak Brent diperdagangkan dalam rentang US$11,86, menjadikannya rentang terluas sejak Juli 2022. Meskipun kedua kontrak minyak sempat menguat ke level tertinggi lima bulan menyusul serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran pada akhir pekan sebelumnya, euforia itu tak bertahan lama. Keduanya ditutup melemah lebih dari 7% dalam sesi perdagangan berikutnya, menggarisbawahi sensitivitas pasar terhadap setiap perkembangan geopolitik.

Menjelaskan fenomena ini, Barclays dalam catatan risetnya menyatakan, “Harga minyak turun tajam karena serangan AS ke fasilitas nuklir Iran gagal memicu konflik yang lebih luas yang dapat mengancam pasokan minyak kawasan.” Keterlibatan langsung AS dalam konflik juga secara otomatis mengalihkan perhatian investor global ke Selat Hormuz. Jalur laut yang sempit antara Iran dan Oman ini sangat krusial, karena dilalui oleh 18–19 juta barel minyak dan bahan bakar per hari, yang setara dengan sekitar 20% dari total konsumsi global.

Dari sisi suplai, sinyal peningkatan produksi minyak juga turut menekan harga. Perusahaan energi nasional Kazakhstan, KazMunayGaz, baru-baru ini merevisi naik proyeksi produksi minyak dari ladang Tengiz yang dikelola Chevron, dari 34,8 juta ton menjadi 35,7 juta ton metrik pada tahun 2025. Fakta bahwa Kazakhstan adalah anggota kunci aliansi OPEC+, yang terdiri dari negara-negara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mitra-mitranya seperti Rusia, semakin memperkuat potensi kelebihan pasokan di pasar.

Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Ritterbusch and Associates, sebuah firma penasihat energi. Dalam catatannya, mereka mengungkapkan, “Sebelum pecahnya konflik Israel-Iran, kami sudah menyarankan posisi bearish karena peningkatan produksi OPEC+ yang menyebabkan suplai melimpah, ditambah potensi penurunan permintaan akibat tarif baru dari pemerintahan Trump.” Analisis ini menegaskan bahwa fondasi untuk penurunan harga minyak sudah terbentuk bahkan sebelum ketegangan geopolitik mencapai puncaknya.

Tags:

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar