BEI Gebrak Pasar Saham: Jam Dagang Lebih Panjang, Broker Lebih Transparan!

devisella116@gmail.com

0 Comment

Link

JAKARTA — Bursa Efek Indonesia (BEI) secara proaktif terus mematangkan beragam strategi ambisius untuk mendongkrak aktivitas perdagangan saham dan memperkokoh fondasi pasar modal Indonesia. Sejumlah inisiatif krusial, mulai dari penyesuaian jam perdagangan, pembukaan kembali kode broker dan domisili investor, hingga peluncuran program liquidity provider, sedang dipersiapkan untuk diluncurkan secara bertahap mulai kuartal III/2025.

Sebagai langkah terbaru, BEI mengumumkan bahwa mereka tengah mengkaji secara mendalam rencana untuk mempercepat jam perdagangan saham di Bursa menjadi pukul 08.00 WIB atau memperpanjang waktu penutupan hingga pukul 17.00 WIB.

Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, menjelaskan bahwa kajian ini merupakan bagian integral dari upaya berkelanjutan untuk meningkatkan pengalaman pasar saham, memperluas likuiditas, dan menyediakan layanan optimal bagi seluruh investor, baik domestik maupun asing.

BEI Kaji Rencana Penambahan Jam Perdagangan Saham

“Penyesuaian jam perdagangan ini mencakup berbagai kemungkinan, apakah ditambah di awal, diperpanjang di akhir, atau hanya digeser. Semua skenario masih dalam tahap kajian dan belum ada keputusan final,” tegas Jeffrey di Jakarta, Senin (16/6/2025).

Berbagai masukan dari pemangku kepentingan, termasuk investor institusi dan ritel dari seluruh penjuru Indonesia, menjadi bahan pertimbangan utama BEI dalam merumuskan keputusan ini. Secara spesifik, otoritas Bursa juga mempertimbangkan secara cermat waktu operasional investor institusi asing, terutama yang memiliki basis perdagangan di Hong Kong.

Jeffrey menambahkan, “Sebagian besar investor institusi dari Amerika Serikat dan Eropa memiliki desk di Hong Kong. Artinya, Hong Kong memiliki posisi yang cukup penting.”

Selain itu, BEI juga secara saksama mencermati tren distribusi investor dalam negeri. Jika sebelumnya lebih dari 70% investor ritel berasal dari Pulau Jawa, kini porsinya menurun ke kisaran 67% hingga 68%, disertai pertumbuhan signifikan di wilayah Indonesia Tengah dan Timur. “Distribusi geografis investor domestik juga menjadi pertimbangan penting. Kami ingin memastikan seluruh investor dapat mengakses pasar secara optimal tanpa dibatasi perbedaan waktu operasional,” ungkapnya.

Sebagai bagian dari kajian komprehensif, BEI turut melakukan pembandingan (benchmarking) dengan jam perdagangan bursa regional lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam, guna menjaga daya saing pasar modal Indonesia di kancah regional. Jeffrey menegaskan bahwa semua pertimbangan tersebut akan dianalisis secara menyeluruh oleh otoritas, dan keputusan akhir tidak akan semata-mata didasarkan pada kepentingan investor asing.

Meskipun demikian, rencana penambahan jam perdagangan ini memicu beragam pandangan dari pelaku industri. Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menyuarakan keraguannya terkait efektivitas langkah ini dalam mendongkrak tingkat likuiditas pasar. Menurutnya, penambahan jam perdagangan Bursa belum tentu secara langsung meningkatkan produktivitas di lantai bursa.

Liza berpendapat bahwa Bursa harus dengan sangat hati-hati mempertimbangkan rencana penerapan perpanjangan waktu perdagangan, mengingat bertambahnya jam operasional juga berarti peningkatan biaya operasional. ”Belum tentu menambah produktivitas dan hasil, harus diperhitungkan untung atau ruginya matang-matang,” katanya saat dihubungi, Senin (16/6/2025).

Mengenai tujuan perpanjangan jam perdagangan untuk menambah likuiditas pasar, Liza justru menekankan peran Danantara yang santer disebut sebagai liquidity provider. ”Apa kabar Danantara yang mau jadi liquidity provider? Bagaimana rencana kerja strategis mereka dalam meningkatkan likuiditas pasar?” tanyanya.

Di sisi lain, Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta, justru memandang bahwa perpanjangan jam perdagangan Bursa merupakan langkah krusial. Menurutnya, ini tidak hanya berpotensi menarik investor dari Asia, tetapi juga dari Eropa. Ia meyakini bahwa dengan perpanjangan jam perdagangan, dampaknya terhadap pasar modal Indonesia akan terlihat dalam jangka panjang.

”Yang paling penting adalah BEI secara konsisten bisa berinovasi dalam menghasilkan berbagai kebijakan yang memang sifatnya bisa meningkatkan likuiditas pasar kita,” katanya saat dihubungi, Senin (16/6/2025). Kendati demikian, Nafan memberikan catatan penting berupa penguatan infrastruktur di bidang pasar modal. Ia menekankan bahwa selain perpanjangan jam perdagangan, Bursa harus mampu memastikan kemudahan transaksi bagi investor domestik dan internasional di pasar modal. “Karena tujuannya kan untuk meningkatkan likuiditas, otomatis infrastruktur pasar modal tanah air harus mumpuni, harus mendukung,” tambahnya.

Tantangan Likuiditas dan Solusi BEI

Likuiditas dan transaksi saham di BEI memang masih menghadapi sejumlah tantangan signifikan. Di tengah pesatnya pertumbuhan investor pasar modal, rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) belum berhasil mencapai target yang ditetapkan. Merujuk data dataindonesia.id, per Mei 2025 jumlah investor pasar modal mencapai 16,56 juta single investor identification (SID), meliputi saham, obligasi, dan reksa dana. Khusus investor saham, jumlahnya menembus 7 juta SID.

Dalam lima bulan pertama tahun 2025, jumlah investor pasar modal bertambah 1,7 juta SID dari posisi akhir 2024 sebanyak 14,87 SID. Dengan target penambahan investor baru 2 juta orang pada 2025, peluang sasaran tersebut tercapai sebelum akhir tahun dinilai sangat besar. Namun demikian, RNTH per Mei 2025 baru mencapai level Rp12,90 triliun, meskipun nilai tersebut menunjukkan peningkatan dari bulan sebelumnya Rp12,47 triliun. BEI sendiri mencanangkan target RNTH pada 2025 mencapai Rp13,5 triliun.

Selain persoalan RNTH, terdapat pula masalah likuiditas saham yang belum merata. Berdasarkan data BEI, sekitar 70% saham di bursa memiliki aktivitas transaksi di bawah rata-rata pasar. Lebih lanjut, 75% saham memiliki spread harian yang lebih tinggi dari rata-rata pasar. Spread sendiri adalah selisih antara harga penawaran (bid) dan harga permintaan (ask) suatu saham. Jika spread terlalu lebar, maka transaksi cenderung sulit terjadi.

Untuk merespons berbagai tantangan likuiditas dan transaksi saham ini, BEI sebelumnya telah menyiapkan sejumlah inovasi kebijakan baru. Di antaranya adalah implementasi liquidity provider dan short selling pada kuartal III/2025. Bursa juga berencana membuka kembali kode broker dan kode domisili pada akhir perdagangan di sesi I, yang sebelumnya ditutup mulai Desember 2021.

Liquidity provider saham adalah Anggota Bursa (AB) atau sekuritas yang telah memperoleh persetujuan dari BEI dan memiliki kewajiban untuk melakukan kuotasi jual dan beli secara berpasangan dan berkelanjutan atas saham tertentu. Dengan adanya liquidity provider, diharapkan terjadi peningkatan transaksi saham hingga 11,5% pada saham-saham di 90 persentil terbawah. Selain itu, diharapkan juga terjadi penurunan rerata spread harian di pasar menjadi kurang dari 3 tick.

Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, menargetkan implementasi penyedia likuiditas (liquidity provider) dapat meluncur pada kuartal III/2025. Saat ini, sudah ada 13 sekuritas yang menyatakan minat untuk menjadi penyelenggara. “Bagi investor, dua hal yang sangat penting adalah keuntungan dan likuiditas. Di atas kertas dia untung [bila sahamnya naik], tapi kalau pada saat dia mau menjual tidak ada yang mau beli, tidak ada gunanya. Itulah yang mau kami berikan di BEI untuk meningkatkan likuiditas dari saham-saham yang ada,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (10/6).

Adapun mekanisme short selling atau jual kosong melibatkan investor meminjam saham dari broker, kemudian menjualnya dengan harga pasar, dan membeli kembali saham tersebut dengan harga yang lebih rendah untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga. Praktik ini dinilai berisiko, terutama karena mengharapkan keuntungan saat harga suatu saham turun. Menurut Jeffrey, short selling berisiko untuk dilakukan saat kondisi pasar tertekan, seperti ketika indeks harga saham gabungan (IHSG) terpukul mulai Februari 2025. Oleh karena itu, implementasi kebijakan tersebut ditunda hingga kondisi pasar kondusif. “Untuk memberikan perlindungan kepada investor, kami memilih untuk menunda short selling sampai dengan September. Mudah-mudahan pada saat itu kondisi pasar sudah kondusif,” imbuhnya.

Terkait pembukaan kode domisili dan kode broker, Jeffrey Hendrik menambahkan, rencananya hal ini hanya akan dilakukan pada penutupan perdagangan sesi I dan II, tidak secara real time seperti sebelumnya. Saat ini, BEI telah meminta vendor untuk menyesuaikan proses pelaporan. Rencananya, pembukaan kode domisili dan kode broker dapat berlaku dalam tiga bulan ke depan. “Kalau bisa lebih cepat, akan kami sampaikan ke publik,” tambahnya.

Di samping berbagai inovasi kebijakan baru, BEI bersama pemangku kepentingan lainnya gencar melakukan edukasi literasi keuangan. Menurut Jeffrey, literasi adalah perlindungan pertama bagi investor agar memahami manajemen risiko dan perhitungan keuntungan dalam berinvestasi. Di lembaga pendidikan, pemangku kepentingan pasar modal mengintensifkan edukasi di perguruan tinggi dalam bentuk Galeri Investasi hingga sekolah menengah atas (SMA) melalui wadah Galeri Edukasi. Mahasiswa umumnya sudah memiliki KTP sehingga dapat menjadi investor di pasar modal, sedangkan siswa SMA baru sebatas edukasi. “Kami percaya yang sekarang di SMA dan di perguruan tinggi, 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun lagi, merekalah pelaku ekonomi yang sebenarnya. Jadi pemberian literasi sejak dini sangat penting,” jelasnya.

Jeffrey pun optimistis bahwa target penambahan investor pasar modal 2 juta SID dan RNTH Rp13,5 triliun pada 2025 dapat tercapai. Mengacu pada tahun lalu, pertumbuhan investor mencapai 2,7 juta SID. “Artinya, sekalipun target sudah tercapai [seperti pada 2024], kami akan terus menjalankan rencana kerja sampai akhir tahun. Kami akan bekerja keras untuk itu,” tegasnya.

Transparansi dan Saran Industri

Direktur Panin Asset Management, Rudiyanto, menjelaskan bahwa transparansi menjadi salah satu aspek vital dalam mendorong aktivitas pasar. Keterbukaan informasi, termasuk kode broker dan domisili investor, dinilai dapat memberikan kenyamanan lebih bagi investor dalam mengambil keputusan. Untuk mendongkrak transaksi saham di BEI, ia juga mengusulkan evaluasi aturan mengenai porsi minimal saham publik atau free float yang saat ini hanya 7,5%, tergolong rendah dibandingkan dengan bursa luar negeri. “Kepemilikan saham oleh investor AS biasanya tersebar. Di Indonesia, rata-rata pengendali masih memegang lebih dari 50%. Meningkatkan jumlah saham free float ke 15%–20% akan lebih baik,” paparnya.

Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya, mengusulkan peningkatan edukasi dan literasi keuangan untuk mendorong pemahaman dan partisipasi aktif masyarakat. Hal tersebut, menurutnya, harus diimbangi dengan digitalisasi dan penyederhanaan proses transaksi di pasar modal agar akses menjadi lebih inklusif dan efisien. Ia juga menilai kebijakan pembukaan kode broker dan domisili investor dapat menjadi stimulus positif untuk meningkatkan transparansi serta mendorong aktivitas transaksi di bursa. Namun, langkah ini harus diiringi dengan penguatan regulasi dan edukasi yang memadai agar manfaatnya benar-benar terasa bagi pasar secara keseluruhan.

Sementara itu, Co-Founder Komunitas Syariah Saham sekaligus Direktur Utama PT Syariah Saham Indonesia, Ady Nugraha, menilai pembukaan kode broker dan kode domisili pada sesi pertama akan secara signifikan meningkatkan gairah transaksi investor lokal, sekaligus melatih mereka menghindari sikap fear of missing out (FOMO). “Karena pembukaan ini akan memicu ketertarikan. Contohnya, harga saham A sedang kenapa, nih? Apakah karena asing, atau ada broker tertentu yang borong sebagai indikasi buyback, misalnya. Tentu rasa penasaran lebih cepat terbayarkan dan bisa bikin transaksi lebih ramai,” ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (11/6/2025).

Ady percaya pembukaan kode broker dan kode domisili secara parsial tidak akan memicu perilaku herding, sebab informasi tersebut hanya akan membantu dalam mengambil sikap atau meningkatkan keyakinan. Terlebih, sebentar lagi bursa juga akan diramaikan oleh beragam liquidity provider, sehingga pembukaan informasi ini justru bisa memberikan transparansi dan perlindungan bagi investor ritel lokal. “Ini akan membawa suasana baru. Terutama, nanti saat ada liquidity provider, pasti lihat dulu apakah asing ikut beli, atau hanya ritel dan broker-broker tertentu yang ikut FOMO. Jadi analisis tetap jalan,” tambahnya.

Ketua Umum Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISSI), Yumetri Abidin, sepakat bahwa pembukaan kode broker dan kode domisili secara parsial justru memberikan transparansi dan keberpihakan lebih buat investor ritel lokal. “Ini justru melindungi dari manuver investor asing yang mempermainkan investor lokal. Jadi dalam fenomena transaksi harian itu investor lokal bisa melihat lebih jelas dan tidak terlambat menanggapi pasar,” ungkapnya. Terlebih, kondisi perekonomian global yang kini tengah bergejolak justru menjadi momentum bagi investor lokal untuk mulai melakukan transaksi akumulasi.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar