businesscarddiscounts.com Ketidakpastian yang membayangi perekonomian global masih berada pada tingkat yang tinggi. Kondisi ini dipicu oleh dinamika negosiasi tarif resiprokal antara Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara, serta eskalasi ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah. Menanggapi situasi ini, Bank Indonesia (BI) berkomitmen untuk mengoptimalkan strategi operasi moneter yang pro-pasar demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa berbagai indikator menunjukkan adanya perlambatan signifikan dalam perekonomian dunia sebagai dampak dari kebijakan tarif AS. Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju seperti Eropa dan Jepang juga menunjukkan tren penurunan, meskipun negara-negara tersebut telah mengimplementasikan kebijakan fiskal yang ekspansif dan pelonggaran kebijakan moneter.
Selain itu, perekonomian Tiongkok mengalami perlambatan akibat penurunan ekspor, terutama ke AS, di tengah melemahnya permintaan domestik. Berbeda halnya dengan India yang diproyeksikan akan mencatat pertumbuhan positif, didorong oleh kuatnya investasi di negara tersebut. Meskipun demikian, Perry menyatakan dalam paparan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Rabu (18/6) bahwa prospek pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2025 diperkirakan tetap stabil pada angka 3 persen.
Di Amerika Serikat, tekanan inflasi menunjukkan penurunan, sejalan dengan perlambatan perekonomian domestik. Meskipun terjadi kenaikan inflasi pada kelompok barang akibat kebijakan tarif, kondisi ini justru memperkuat ekspektasi pasar terhadap kemungkinan penurunan Fed funds rate (FFR) di masa mendatang. Hal ini juga memicu pergeseran aliran modal di pasar keuangan global.
Terjadi pergeseran aliran modal dari AS menuju aset-aset yang dianggap aman, serta ke aset keuangan di negara-negara emerging market. Fenomena ini turut mendorong berlanjutnya pelemahan indeks mata uang dolar AS (USD) terhadap mata uang negara maju (DXY) dan negara berkembang (ADXY). Perry memperingatkan bahwa perekonomian global masih akan menghadapi tantangan besar akibat negosiasi tarif yang berkelanjutan dan ketegangan geopolitik, sehingga memerlukan kewaspadaan dan koordinasi kebijakan yang kuat untuk menjaga ketahanan eksternal, stabilitas, dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus diupayakan untuk didorong. Kegiatan ekonomi pada triwulan II 2025 menunjukkan kinerja ekspor nonmigas yang membaik, terutama dipengaruhi oleh front loading ekspor ke AS sebagai respons antisipatif eksportir terhadap kebijakan tarif. Perry menekankan pentingnya peningkatan sumber pertumbuhan dari permintaan domestik, khususnya melalui konsumsi rumah tangga dan investasi.
Pemerintah turut berkontribusi melalui kebijakan fiskal yang berfokus pada percepatan belanja, seperti pemberian gaji ke-13 bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), subsidi transportasi, dan peningkatan bantuan sosial untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Sementara itu, Bank Indonesia mengambil langkah melalui kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga dan melonggarkan likuiditas. Langkah ini juga dibarengi dengan peningkatan insentif likuiditas makroprudensial untuk mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan ke sektor-sektor prioritas. Dengan berbagai upaya ini, Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik pada semester II 2025, dan secara keseluruhan berada pada kisaran 4,6 hingga 5,4 persen untuk tahun 2025.
Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menambahkan bahwa di tengah tingginya risiko ekonomi global, instrumen keuangan Indonesia tetap menawarkan imbal hasil (yield) yang menarik bagi investor. Hal ini tercermin dari peningkatan inflow pada bulan Juni, khususnya untuk Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai sekitar Rp 11 triliun. Meskipun outflow pada pasar saham masih terjadi, nilainya relatif kecil, sekitar Rp 3 triliun, sementara Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) mencatat outflow sebesar Rp 5 triliun.
Secara keseluruhan, Destry mengungkapkan bahwa total inflow yang masuk ke SBN telah mencapai Rp 43,5 triliun. Jumlah ini secara signifikan menambah suplai valuta asing (valas) di pasar. Peningkatan likuiditas ini juga terefleksi dari volume transaksi harian di pasar yang terus meningkat, dari rata-rata Rp 5,76 triliun per April menjadi sekitar Rp 6,22 triliun pada 16 Juni. Kondisi ini menjadi salah satu faktor utama yang mendorong penguatan rupiah sebesar 1,72 persen secara kuartalan dibandingkan kuartal sebelumnya, menegaskan bahwa pergerakan rupiah sejajar dengan kelompok mata uang negara peers group.
Destry lebih lanjut menegaskan komitmen BI untuk terus mengoptimalkan operasi pasar terbuka yang pro-pasar, dengan kesiapan untuk selalu berintervensi di pasar non-deliverable forward (NDF). Secara domestik, BI juga konsisten melakukan triple intervention di pasar DNDF, pasar spot, dan pasar SBN. Langkah-langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi stabilisasi pasar, tidak hanya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, tetapi juga untuk menambah likuiditas di pasar, yang terlihat dari pembelian SBN oleh BI yang telah mencapai Rp 124 triliun.
Tinggalkan komentar