Kabar tentang rencana pemerintah yang akan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Peta Jalan Kecerdasan Buatan (AI) di Indonesia adalah berita penting. Ini adalah langkah maju yang menunjukkan adanya kesadaran pemerintah akan urgensi regulasi AI. Namun, sebagai pelaku industri yang telah berkecimpung di dunia internet sejak tahun 1995, kabar ini juga memicu kembali kekhawatiran lama. Apakah kita akan kembali terjebak dalam lingkaran “telat mikir” yang pernah menghambat laju inovasi di masa lalu?
Saya menyaksikan langsung bagaimana inovasi dapat dihadapkan pada tembok regulasi yang kaku. Pengalaman pahit di awal milenium baru, ketika layanan Voice over Internet Protocol (VoIP) yang sejatinya merupakan kemampuan inheren dari teknologi internet justru dibatasi bahkan dilarang bagi Penyelenggara Jasa Internet (PJI), adalah sebuah cermin buram. Padahal, VoIP berpotensi merevolusi komunikasi dan menurunkan biaya bagi masyarakat.
Ironisnya, dasar hukum yang digunakan saat itu, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, tak sedikit pun menyebut kata “internet”. Pemerintah kala itu, karena ketiadaan payung hukum yang jelas dan pemahaman yang kurang memadai tentang teknologi yang berkembang, mengambil langkah yang justru mematikan inisiatif inovatif. Akibatnya fatal: masyarakat tetap harus membayar mahal untuk layanan suara, sementara peluang industri untuk berkembang lebih pesat terhambat.
Regulasi spesifik tentang internet baru muncul pada tahun 2001 melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 21 Tahun 2001, yang itupun lebih cenderung mengatur infrastruktur. Sementara itu, payung hukum yang mencakup ranah aktivitas daring, mulai dari transaksi elektronik hingga potensi penyalahgunaan informasi, baru dapat kita temui dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diundangkan pada tahun 2008 – sebuah langkah yang menurut saya amat sangat terlambat.
Kekhawatiran Terulang di Era AI: Ancaman Ekonomi dan Kohesi Sosial
Melihat pengalaman masa lalu itu, kekhawatiran terbesar saya kini tertuju pada era Kecerdasan Buatan (AI) yang sedang melesat. Sejarah bisa jadi akan terulang. AI berkembang jauh lebih cepat dan memiliki implikasi yang jauh lebih luas daripada internet di masa lalu. Meskipun Perpres AI akan diterbitkan, kekhawatiran muncul karena Perpres ini, sebagai peraturan turunan, kemungkinan besar akan mengacu pada Undang-Undang yang lebih umum seperti UU ITE atau Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Pendekatan menggunakan kedua UU tersebut sebagai payung hukum untuk Perpres AI terkesan “memaksakan”, karena substansi AI jauh lebih luas dan kompleks dari lingkup asli kedua UU tersebut. Ini bisa menciptakan ambiguitas hukum dan celah interpretasi di kemudian hari, mirip dengan bagaimana UU Telekomunikasi tahun 1999 gagal mengakomodasi internet.
Ini adalah skenario “telat mikir” yang paling mencemaskan, karena dampaknya bisa beberapa kali lipat lebih merusak:
1.Peluang Ekonomi Bernilai Tinggi yang Terhambat
AI adalah gelombang inovasi berikutnya yang akan merevolusi hampir setiap sektor ekonomi. Jika regulasi tidak segera hadir atau justru menghambat, Indonesia berisiko kehilangan potensi investasi dan talenta terbaik. Investor, baik lokal maupun asing, akan ragu menanamkan modal di ekosistem AI yang tidak memiliki kepastian hukum. Talenta AI kita mungkin akan memilih berkarya di negara-negara dengan kerangka regulasi yang lebih jelas dan mendukung, membuat kita tertinggal dalam perlombaan teknologi global.
Ketiadaan panduan yang jelas juga akan membendung inovasi lokal. Pengembang AI akan ragu berinvestasi atau mengembangkan solusi baru, takut melanggar aturan yang belum ada atau tidak jelas. Kita akan kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan AI guna meningkatkan efisiensi dan produktivitas di berbagai sektor vital, dari kesehatan hingga pertanian, menjadikan kita hanya konsumen teknologi AI dari luar.
2.Potensi Problematika Kohesi Sosial yang Mendesak
Selain kerugian ekonomi, absennya regulasi AI yang memadai juga dapat menimbulkan berbagai masalah sosial yang mengancam kohesi masyarakat:
-
Penyebaran Disinformasi dan Misinformasi Masif: AI generatif mampu menciptakan teks, gambar, dan video deepfake yang sangat realistis dalam skala besar. Tanpa regulasi yang mewajibkan transparansi (misalnya, pelabelan konten hasil AI) dan akuntabilitas, penyebaran hoaks dan propaganda akan semakin mudah dan sulit dibendung, berpotensi memecah belah opini publik dan memicu konflik sosial.
-
Bias dan Diskriminasi Algoritma: Jika sistem AI dikembangkan tanpa pedoman etika dan pengawasan ketat, ada risiko AI akan memperparah bias yang ada dalam data pelatihan. Ini bisa mengarah pada diskriminasi di berbagai area seperti rekrutmen, penegakan hukum, atau layanan publik, memperlebar kesenjangan sosial dan merusak kepercayaan publik.
-
Pelanggaran Privasi dan Keamanan Data: Pengembangan AI membutuhkan data besar. Tanpa regulasi yang kuat mengenai pengumpulan, penyimpanan, dan pemanfaatan data (terutama data pribadi), risiko pelanggaran privasi dan kebocoran data akan sangat tinggi, mengancam hak-hak individu.
Mencegah “Telat Mikir” Berulang: Jalan ke Depan
Perpres AI, meskipun penting sebagai langkah awal, harus menjadi instrumen yang tepat. Pemerintah mungkin memiliki berbagai pertimbangan untuk menempuh jalan ini alih-alih menunggu UU AI yang spesifik, namun hal tersebut tidak membenarkan potensi ketidakcukupan substansi hukum secara jangka panjang. Oleh karena itu, yang terpenting adalah Perpres ini harus melalui mekanisme uji publik yang proper dan transparan untuk menghindari kegaduhan atau bahkan kegagalan setelah kebijakan tersebut diterbitkan.
Berikut adalah beberapa pelajaran krusial yang bisa kita tarik dari pengalaman masa lalu:
-
Regulasi Inklusif dan Kolaboratif: Jangan biarkan regulasi disusun hanya dari “menara gading.” Libatkan semua pemangku kepentingan – akademisi, praktisi industri (terutama mereka yang berada di garis depan bidang AI), masyarakat sipil, hingga pakar etika – sejak awal perumusan. Pemahaman multi-perspektif akan menghasilkan regulasi yang lebih adaptif dan relevan.
-
Fokus pada Prinsip Universal, Bukan Hanya Teknologi Spesifik: Teknologi AI akan terus berkembang dan berubah. Regulasi harus berpegang pada prinsip-prinsip etika AI universal seperti transparansi, akuntabilitas, keadilan, keamanan, dan perlindungan privasi. Ini akan membuat regulasi tetap relevan terlepas dari perkembangan teknologi di masa depan.
-
Membangun Fondasi yang Mendukung Inovasi: Regulasi tidak boleh menjadi rem, melainkan fondasi yang kokoh untuk pengembangan AI yang bertanggung jawab. Ini berarti perlu ada ruang untuk eksperimen, regulatory sandbox, dan dukungan bagi riset AI agar inovasi lokal dapat tumbuh.
-
Antisipasi Celah Hukum: Belajar dari pengalaman UU 36/1999 yang tidak menyebut internet, regulasi AI harus secara aktif mengidentifikasi dan mengantisipasi potensi celah hukum yang mungkin muncul dari teknologi baru, terutama terkait data, hak cipta konten yang dihasilkan AI, dan otonomi sistem.
Era AI adalah revolusi yang tak terhindarkan. Pertanyaan kunci bukanlah apakah kita akan mengadopsinya, tetapi bagaimana kita mengadopsinya. Jika kita gagal belajar dari pengalaman masa lalu, risiko “telat mikir” akan kembali menghantui, menghambat inovasi, dan membuang peluang emas yang terhampar di depan mata. Saatnya bergerak cepat, cerdas, dan bijak dalam merumuskan kebijakan AI demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Tinggalkan komentar