Keteladanan Jenderal Hoegeng, Sosok Kapolri yang Harum Namanya

devisella116@gmail.com

0 Comment

Link

businesscarddiscounts.com – , JAKARTA — Hoegeng Imam Santoso dikenal sebagai sosok polisi yang jujur, tegas, dan berintegritas tinggi. Ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia pada periode 1968 hingga 1971.

Merintis dari bawah, karier Hoegeng di Kepolisian penuh lika-liku. Sebelum menjadi kepala Kepolisian Negara (sejak 1969, nama institusi ini berubah jadi Kepolisian RI/Polri) pada 5 Mei 1968, ia telah mengisi pelbagai posisi. 

Pada 1956, Hoegeng mengepalai Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) di Medan, Sumatra Utara. Sekira empat tahun kemudian, ia menjadi staf direktorat II di Markas Besar Polri. Bahkan, dirinya pernah duduk di pemerintahan, yakni sebagai menteri iuran negara pada tahun 1965 dan menteri sekretaris kabinet inti pada 1966. 

Kejujuran Hoegeng dalam keseharian maupun di lingkungan Polri tak diragukan lagi. Seperti dijelaskan dalam buku Hoegeng yang diterbitkan Bentang Pustaka, tokoh ini sudah terkenal bersih sejak sebelum berkiprah di Mabes Polri. 

Saat bertugas di Medan, Sumatra Utara (Sumut), banyak peristiwa mencengangkan dilakukan ayah tiga anak ini. Dia mengeluarkan secara paksa perabotan di rumah dinasnya. Perabotan mahal-mahal itu ditaruh di pinggir jalan. Kelakuan itu bukan tanpa alasan. Barang-barang itu sebelumnya dikirim oleh para cukong sebagai pelicin agar bisnis ilegal mereka berjalan mulus (baca: di-backing kepolisian). 

Hoegeng juga pernah marah-marah sambil melemparkan berbagai parsel ke luar jendela rumah dinasnya. Walaupun nilainya kecil, tetap saja itu sogokan, dan pasti ada maunya. 

Kehadiran Hoegeng di Sumut untuk menumpas bisnis ilegal, penyelundupan, dan judi. Sebelum ia bertugas, bisnis itu terbilang lancar berjalan di Medan. Sebab, para pelaku merasa aman akan adanya “backing” dari oknum tentara dan oknum polisi. 

Hoegeng kemudian merunut jejak praktik kongkalikong itu. Ia menemukan, ujung-ujungnya adalah ‘Cina Medan’, sedangkan oknum aparat tak lebih sebagai kacungnya. “Sebuah kenyataan yang amat memalukan,” ujar Hoegeng dengan geram, seperti dicatat dalam buku karya Aris Santoso, Ery Sutrisno, Hasudungan Sirait, dan Imran Hasibuan itu (halaman 50). 

Di tangan pria kelahiran Pekalongan ini, para penjudi dan penyelundup tak bisa berkutik. Semua ditangkap, termasuk para backing pun diproses secara hukum. 

Sukses di Sumut, Hoegeng mendapat tugas memberantas KKN di Jawatan Imigrasi, lalu menjadi menteri Iuran Negara. Dia pun berhasil menjalankan tugasnya. Lalu dikembalikan ke kepolisian sebagai kapolri menggantikan Soetjipto yang mundur. Hoegeng dilantik oleh presiden Soeharto pada 15 Mei 1968. 

Sebelumnya, Soeharto mengingatkan kepada Hoegeng agar polisi tidak memikirkan tugas angkatan lain yang memiliki fungsi tempur. Waktu itu, Polri berada dalam lingkup Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau TNI. 

Bagi Soeharto, hendaknya polisi menjalankan tugas sesuai fungsinya. Jangan ada lagi faksi di kalangan perwira yang membuat persaingan tidak sehat. 

Sejumlah warga berfoto dengan latar belakang Monumen Hoegeng usai diresmikan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo di Kawasan Stadion Hoegeng, Pekalongan, Jawa Tengah, Sabtu (11/11/2023). (Antara/Harviyan Perdana Putra)

Hoegeng setuju. Namun, dia juga meminta agar angkatan lain pun tidak mencampuri urusan intern Kepolisian. Soeharto hanya diam. Bahkan hingga berhenti sebagai kapolri, Hoegeng tidak tahu bagaimana sikap Soeharto yang sebenarnya.

Selama menjadi kapolri, Hoegeng sangat disiplin. Sebelum jam tujuh pagi sudah datang di kantor. Dari rumah dinasnya di Menteng menuju Mabes Polri di Kebayoran Baru selalu ditempuh dengan rute berbeda. Cara ini dilakukan agar kapolri mengetahui kondisi lalu lintas, termasuk kesiagaan polisi lalu lintasnya.

Jika terjadi kemacetan di jalan, ia tak ragu turun dari kendaraannya mengatur lalu lintas. Hoegeng menjalankan dengan ikhlas, seraya memberi contoh kepada anak buahnya di lapangan. 

Sebagai pucuk pimpinan Kepolisian, Hoegeng pun dekat dengan masyarakat. Baginya tidak perlu ada gardu penjaga di halaman rumah agar setiap orang tidak merasa takut atau enggan bertamu ke rumahnya. Dia menjadikan rumahnya sebagai ‘rumah komando’ yang terbuka 24 jam untuk urusan dinas kepolisian.

Selama ia menjabat sebagai kapolri ada dua kasus menggemparkan masyarakat. Pertama kasus Sum Kuning, yaitu pemerkosaan terhadap penjual telur, Sumarijem, yang diduga pelakunya anak-anak petinggi teras di Yogyakarta. Ironisnya, korban perkosaan malah dipenjara oleh polisi dengan tuduhan memberi keterangan palsu. Lalu merembet dianggap terlibat ‘kegiatan ilegal PKI’.

Nuansa rekayasa semakin terang ketika persidangan digelar secara tertutup. Wartawan yang menulis kasus Sum harus berurusan dengan Dandim 096 di Yogyakarta.

Hoegeng bertindak. “Kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Mahaesa. Jadi, walaupun keluarga sendiri, kalau salah tetap kita tindak. Geraklah! The sooner, the better,” tegas Hoegeng (halaman 95).

Kasus lainnya yang menghebohkan adalah penyelundupan mobil-mobil mewah bernilai miliaran rupiah oleh Robby Tjahjadi. Berkat jaminan ‘seseorang’, pengusaha ini hanya beberapa jam mendekam di tahanan Komdak. Sungguh berkuasanya si penjamin sampai Kejaksaan Jakarta Raya pun memetieskan kasus ini. Siapakah si penjamin itu?

Namun, Hoegeng tak gentar. Di kasus penyelundupan mobil mewah berikutnya, Robby tak bisa berkutik. Pejabat yang terbukti menerima sogokan ditahan polisi.

Rumor yang santer, gara-gara membongkar kasus ini pula yang menyebabkan Hoegeng dipensiunkan, 2 Oktober 1971 dari jabatan kapolri. Kasus ini ternyata melibatkan sejumlah pejabat dan perwira tinggi ABRI (halaman 118).

Bayangan banyak orang, memasuki masa pensiun orang pertama di kepolisian pasti menyenangkan. Tinggal menikmati rumah mewah berikut isinya, kendaraan siap pakai. Semua itu diperoleh dari sogokan para pengusaha.

Ternyata masa menyenangkan itu tidak berlaku bagi Hoegeng yang anti disogok. Pria yang pernah dinobatkan sebagai “The Man of the Year 1970” ini pensiun tanpa memiliki rumah, kendaraan, maupun barang mewah.

Rumah dinas menjadi milik Hoegeng atas pemberian dari Kepolisian. Beberapa kapolda patungan membeli mobil Kingswood, yang kemudian menjadi satu-satunya mobil yang ia miliki.

Tags:

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar