Sebuah insiden perusakan terjadi di sebuah rumah singgah atau vila di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, pada Jumat (27/6), saat sekelompok anak dan remaja beragama Kristen tengah menjalani kegiatan retret. Akibat peristiwa memilukan ini, tujuh orang warga telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini ditahan. Para tersangka, yang merupakan warga Desa Tangkil, Cidahu, Sukabumi, mulai ditahan sejak Senin (30/6) malam, demikian disampaikan oleh Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Hendra Rochmawan.
Menanggapi kejadian tersebut, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, segera menyambangi lokasi dan bertemu dengan pihak yang dipercaya menjaga rumah milik Maria Veronica Ninna di Desa Tangkil. Pasca-pertemuan, Dedi melalui unggahan di media sosialnya menegaskan bahwa kasus ini telah ditangani secara hukum karena termasuk peristiwa pidana. Dedi juga menyatakan kesediaannya untuk menanggung seluruh kerusakan yang terjadi pada rumah tersebut.
Kerusakan yang ditimbulkan cukup parah, meliputi pecahnya kaca jendela di hampir seluruh ruangan, hancurnya pot bunga di taman dan depan rumah, rusaknya dua unit gazebo di pekarangan belakang, kamar mandi di bagian belakang rumah, pintu gerbang, bahkan satu unit motor didorong warga ke sungai. Trauma mendalam pun masih menghantui anak-anak dan remaja peserta retret dari sebuah gereja di Tangerang Selatan. Meskipun demikian, pihak gereja memilih untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan menolak memberikan keterangan lebih lanjut.
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), anak-anak dan remaja ini datang ke vila untuk retret mengisi libur sekolah, dengan fokus pada program reflektif yang dikemas melalui berbagai permainan. Namun, sekelompok warga tiba-tiba datang dan membubarkan paksa acara tersebut, dengan dalih bahwa rumah singgah atau vila itu tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah. Pembubaran ini disertai perusakan dan intimidasi yang meresahkan.
“Ada pengambilan paksa simbol keagamaan, salib, saat itu. Ini melukai batin umat Kristiani dan merusak nilai toleransi yang jadi pondasi bangsa,” tegas Sekretaris Umum DPP GAMKI, Alan Christian Singkali. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), Anis Hidayah, juga mengecam penyerangan terhadap warga yang melakukan ibadah atau kegiatan keagamaan, menekankan bahwa tindakan ini melanggar penghormatan terhadap hak dasar kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Insiden di Sukabumi ini menambah panjang daftar pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Data dari Setara Institute mencatat sepanjang 2014-2024 telah terjadi 1.998 peristiwa dan 3.217 tindakan pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Khusus pada tahun 2024, tiga jenis pelanggaran yang paling sering terjadi adalah intoleransi oleh masyarakat (73 kejadian), tindakan diskriminatif oleh negara (50 peristiwa), dan gangguan tempat ibadah (42 kasus).
Baca juga:
- Kasus pembubaran ibadah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang: Ketua RT dan tiga warga lain jadi tersangka
- Kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2023: Pendirian rumah ibadah masih sulit
- Gundah saat Paskah usai rumah doa di Tangerang disegel – ‘Ada ketakutan, apalagi rumah doa kami sudah ditempel tanda kuning’
Kronologi peristiwa pembubaran
Kepala Desa Tangkil, Ijang Sehabudin, menjelaskan bahwa tindakan warga ini dipicu oleh video dan informasi yang beredar di tengah masyarakat pada Jumat (27/6) pagi. Narasi dalam video itu menyebutkan bahwa kaum muda yang menginap di rumah singgah milik Maria Veronica Ninna melakukan kegiatan keagamaan ibadah umat Kristen Protestan, yaitu bernyanyi. Setelah menerima informasi tersebut, Ijang bersama Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Cidahu mendatangi rumah tersebut.
“Kami iktikad baik menanyakan izin karena rumah itu rumah vila dipakai kegiatan. Minta ada izin lah. Si pihak vila tidak mengindahkan atas datangnya kami, Babinsa, Pak Kapolsek, Pak Camat, kurang diindahkan sehingga kami berinisiatif akan membuat surat imbauan,” terang Ijang kepada wartawan Riana A Ibrahim dari BBC News Indonesia. “Cuma waktu itu, kami mepet keburu Jumatan. Akhirnya kami Jumatan, pulang. Baru mau dibuatkan surat imbauan, terjadi lah masyarakat spontanitas mendatangi,” imbuhnya.
Peristiwa perusakan diperkirakan terjadi sekitar pukul 13.15 WIB pada Jumat (27/6). Satu jam berselang, pihak Forkopimcam tiba di lokasi untuk menenangkan warga dan memberikan penjelasan, disusul pemasangan garis polisi. Menjelang sore hari, sekitar pukul 15.30 WIB, warga akhirnya kembali ke rumah masing-masing. Pascakejadian, rumah milik Ninna yang ditinggali oleh kerabatnya, Yongki, beserta istri dan anak-anaknya, dikosongkan sementara dan dijaga oleh aparat kepolisian. Menurut Ijang, warga mulai mempertanyakan peruntukan rumah Ninna sejak April 2025, karena diduga mulai digunakan untuk kebaktian umat Kristen tanpa izin.
Ketika dikonfirmasi apakah izin kegiatan keagamaan dan ibadah juga diperlukan jika penyelenggaranya dari penganut agama mayoritas di wilayah tersebut, Ijang tidak memberikan jawaban. Secara terpisah, Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Hendra Rochmawan, menyampaikan bahwa kegiatan keagamaan itu diikuti oleh sekitar 36 orang yang terdiri dari anak-anak, remaja, dan pendampingnya. Warga kemudian mengadu kepada kepala desa dan meminta pimpinan desa untuk melakukan klarifikasi. “Disebut pemilik rumah tidak mengindahkan pihak pemerintah desa yang akhirnya membuat warga desa Tangkil mendatangi rumah dan merusak bangunan rumah milik Ninna,” jelas Hendra.
Pihak gereja penyelenggara retret, secara terpisah, memilih untuk menghormati proses hukum dan tidak bersedia memberikan kronologi kejadian dari pengalaman mereka. Sementara itu, Sekretaris Umum Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Alan Christian Singkali, menuturkan kronologi singkat berdasarkan informasi yang diterimanya. Menurut Alan, pembubaran paksa acara retret itu terjadi sekitar pukul 14.00 WIB, dengan alasan bahwa vila tersebut tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah. Ia menambahkan bahwa retret anak dan remaja biasanya berisi kegiatan refleksi diri yang dikaitkan dengan nilai-nilai dan ajaran agama, seringkali dilakukan di tempat-tempat yang memiliki suasana kontemplatif, jauh dari kebisingan kota.
Ketika kegiatan berlangsung, upaya pembubaran dilakukan dengan menggedor dan mendobrak paksa gerbang, yang mengakibatkan kerusakan. Selanjutnya, warga masuk dan memecahkan serta merusak kaca, jendela, dan fasilitas di rumah tersebut. Bahkan salib yang ada di rumah itu ikut diturunkan. Intimidasi juga dilakukan dengan meneriaki dan mengusir peserta yang sebagian besar merupakan pelajar.
Apa tindak lanjutnya?
Pada Sabtu (28/6) pagi, sebuah pertemuan digelar dengan dihadiri oleh Camat Cidahu, Tamtam Alamsyah; Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten Sukabumi, Tri Romadhono; Komandan Koramil Parungkuda, Kapten Inf U. Sanusi; Kapolsek Cidahu, AKP Endang Slamet; Ketua MUI Kecamatan Cidahu, Ismail; serta perwakilan dari FKUB, Satuan Polisi Pamong Praja, tokoh agama, dan korban. Hasil pertemuan itu, Yohanes Wedy, adik dari pemilik rumah sekaligus korban, menyatakan tidak akan melakukan kegiatan yang bersifat ibadah bagi umat Kristen dan akan berkoordinasi dengan lingkungan serta pemerintah setempat guna menghindari miskomunikasi.
MUI Kecamatan Cidahu juga memberikan surat imbauan kepada pemilik rumah yang diduga mengubah peruntukan rumahnya menjadi tempat ibadah bagi umat non-Muslim. Dalam pertemuan itu, diminta juga agar kasus ini tidak dilanjutkan ke proses hukum dan diselesaikan secara musyawarah. Pengrusakan yang dilakukan juga disebut bukan pengrusakan tempat ibadah. Selain itu, ada komitmen bersama agar insiden semacam ini tidak terulang lagi. Pihak desa juga menyatakan kesiapan untuk mengganti kerusakan yang diperkirakan berkisar Rp3 juta hingga Rp5 juta.
Namun, penyelidikan tetap dilakukan pada Minggu (29/6) sebagai tindak lanjut dari laporan yang dibuat Yohanes Wedy pada Sabtu (28/6). Hasilnya, pada Senin (30/6) malam, tujuh warga dari Desa Tangkil, Cidahu, Sukabumi, ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap. Ketujuh tersangka itu adalah RN (merusak pagar dan mengangkat salib), MSM (menurunkan dan merusak salib besar), MD (merusak motor), H (merusak motor dan pagar), serta UE, EM, dan EM (merusak pagar). Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Hendra Rochmawan, juga menyampaikan bahwa kerugian materiil korban mencapai Rp50 juta, meliputi kerusakan pada rumah serta satu unit motor dan satu unit mobil.
Secara terpisah, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyerahkan sepenuhnya penanganan hukum kasus ini kepada pihak kepolisian. Kendati demikian, ia tetap turut bertanggung jawab dengan memberikan ganti rugi kerusakan sebesar Rp100 juta kepada kerabat pemilik rumah dan memberikan pendampingan psikologis dengan mengirimkan tim psikolog dari Pemerintah Daerah Jawa Barat.
‘Ini mencederai hak kebebasan beragama dan berkeyakinan’
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), Anis Hidayah, sangat menyesalkan terjadinya penyerangan terhadap warga yang melakukan ibadah di Sukabumi ini. “Ini sebenarnya sudah mencederai hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang merupakan hak dasar yang tidak hanya diatur dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia tapi juga di dalam konstitusi dan konvensi internasional tentang hak sipil politik,” tutur Anis. Ia juga mendorong masyarakat untuk tidak mudah terpancing melakukan cara-cara kekerasan.
Jalan damai melalui dialog, lanjutnya, merupakan upaya yang semestinya dilakukan dalam menyikapi perbedaan keyakinan dan cara beribadah yang beragam di Indonesia. Komnas HAM telah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan HAM tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam aturan tersebut, jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan semestinya diterapkan oleh setiap masyarakat, jajaran pemerintah, dan aparat penegak hukum. “Kami mendorong agar Standar Norma dan Pengaturan itu dapat digunakan oleh semua pihak yaitu aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat dalam membangun toleransi dan membangun kehidupan dengan perbedaan agama dan keyakinan yang memang selama ini ada di Indonesia. Moderasi beragama itu sangat penting,” tegas Anis.
Mengenai izin untuk kegiatan keagamaan dan beribadah, Anis berpendapat bahwa hal itu tidak boleh menjadi alasan bagi siapapun untuk menyerang agama tertentu ketika mereka menjalankan ibadah. Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama, Adib Abdusshomad, juga menyatakan penyesalannya atas peristiwa ini. Adib menyampaikan adanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat yang bisa dijadikan pedoman dalam menjaga kerukunan umat beragama.
Di sisi lain, Adib mengungkapkan bahwa saat ini Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama masih menanti ditandatangani oleh Presiden Prabowo. Harapannya, Perpres yang memiliki kekuatan hukum lebih tinggi dibandingkan Peraturan Bersama Menteri dapat berdampak signifikan, mengingat saat ini kebijakan pemerintah daerah terkait kerukunan umat beragama masih berpijak pada Peraturan Bersama Menteri tersebut. Terkait dengan perizinan pendirian rumah ibadah, Peraturan Bersama Menteri juga menjadi pijakan dan mengatur persyaratan khusus yang meliputi:
- Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
- Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.
- Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
- Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
Namun, sejumlah persyaratan khusus, terutama terkait dukungan masyarakat, dinilai diskriminatif, sebut Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan. Pendapat itu relevan dengan kondisi di lapangan, di mana banyak rumah ibadah dari semua agama gagal mendapatkan izin karena persoalan dukungan ini.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Kementerian Agama pada 2024, angka Indeks Kerukunan Antar Umat Beragama (IKUB) sebesar 76,47. Skor ini merupakan rerata dari tiga variabel: toleransi, kesetaraan, dan kerja sama, yang diambil dari 34 provinsi di Indonesia. Dari hasil riset ini, skor Jawa Barat berada di bawah rata-rata, yaitu 73,43. Selain Jawa Barat, provinsi lain dengan skor di bawah rata-rata adalah Jambi, Maluku Utara, Gorontalo, Banten, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, dan Aceh. Catatan lain berasal dari Setara Institute, di mana sepanjang 2014-2024 terjadi 1.998 peristiwa dan 3.217 tindakan pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Tiga kondisi pelanggaran yang kerap terjadi sepanjang 2024 adalah intoleransi oleh masyarakat (73 kejadian), tindakan diskriminatif oleh negara (50 peristiwa), dan gangguan tempat ibadah (42 kasus).
Tinggalkan komentar