Margono Djojohadikusumo: Kisah Inspiratif Dirut Pertama BNI Sang Visioner

devisella116@gmail.com

0 Comment

Link

businesscarddiscounts.com – , Jakarta – Visi pembentukan 80.000 unit Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, yang digagas pemerintah, ternyata memiliki akar yang kuat dalam pemikiran seorang tokoh besar: Margono Djojohadikusumo. Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop) Ferry Juliantono menegaskan bahwa gagasan ini selaras dengan konsep yang pernah dicetuskan oleh ekonom sekaligus Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) yang pertama itu.

Ferry Juliantono, dalam keterangannya di Jakarta pada Jumat, 20 Juni 2025, yang dilansir dari Antara, memuji peran fundamental Margono. “Bapak Margono Djojohadikusumo adalah perumus rencana pembangunan semesta berencana, pembangunan desa dan koperasi, [dan] terlibat industri dari hulu hingga hilir,” ungkap Ferry. Pujian ini menyoroti bagaimana jejak pemikiran Margono masih relevan hingga saat ini, terutama dalam pengembangan ekonomi kerakyatan melalui koperasi.

Mengingat pentingnya kontribusi beliau, mari kita telusuri lebih jauh sosok inspiratif Margono Djojohadikusumo.

Profil Margono Djojohadikusumo

Berdasarkan informasi dari esi.kemdikbud.go.id, Raden Mas Margono Djojohadikusumo lahir sebagai putra seorang Asisten Wedana di wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Silsilah keluarganya menunjukkan bahwa beliau adalah cicit dari Raden Tumenggung Banyak Lebar, atau lebih dikenal sebagai Panglima Banyakwide, seorang abdi setia Pangeran Diponegoro. Latar belakang keluarga ini turut membentuk karakter dan pandangannya akan masa depan bangsa.

Lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, pada 16 Mei 1894, Margono tumbuh sebagai seorang priyayi yang beruntung di zamannya. Di tengah keterbatasan akses pendidikan bagi pribumi, beliau mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan formal di lembaga-lembaga resmi pemerintah kolonial.

Perjalanan pendidikannya dimulai pada tahun 1900 di Europeesche Lagere School (ELS), yang berhasil diselesaikannya pada tahun 1907. Tak berhenti di situ, beliau melanjutkan studinya dengan mengikuti ujian masuk klein ambtenaar untuk Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, Jawa Tengah. Setelah menempuh pendidikan selama empat tahun, Margono berhasil menamatkan studi di OSVIA pada tahun 1911.

Setelah lulus dari OSVIA, karier Margono Djojohadikusumo dimulai sebagai juru tulis di Banyumas. Kemampuan dan dedikasinya membuat beliau segera diangkat menjadi juru tulis Asisten Wedana Banyumas di Pejawaran. Pada tahun 1912, posisinya bergeser menjadi juru tulis di Kantor Kejaksaan Cilacap, Jawa Tengah. Hanya dalam beberapa bulan, beliau menunjukkan potensi luar biasa dan dipercaya mengikuti pelatihan penting sebagai pejabat pegawai dinas atau Volkscredietwezen, sebuah lembaga kredit rakyat.

Dalam kehidupan pribadinya, pada tahun 1915, Margono Djojohadikusumo menikah dengan Siti Katoemi Wirodihardjo. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai lima orang anak: Soemitro Djojohadikoesoemo, Soekartini Djojohadikusumo, Miniati Djojohadikoesoemo, Soebianto Djojohadikoesoemo, dan Soejono Djojohadikoesoemo. Namun, takdir berkata lain, dua putranya, Soebianto dan Soejono, harus gugur dalam peristiwa heroik Pertempuran Lengkong.

Perjalanan karier Margono terus menanjak. Setelah pengalaman di Kantor Kejaksaan Cilacap, beliau diangkat menjadi pegawai dinas di Madiun, Jawa Timur. Pada tahun 1930, beliau dipindahkan ke Malang, Jawa Timur, sebelum kemudian berlabuh di Jakarta. Di ibu kota, beliau mengemban tugas penting di kantor pusat Algemene Volkscredietbank, sebuah lembaga keuangan yang vital pada masa itu.

Kinerja cemerlang Margono Djojohadikusumo menarik perhatian pemerintah kolonial. Pada tahun 1937, Kementerian Urusan Jajahan mengirimnya ke Belanda untuk mendalami laporan-laporan dari pemerintahan Hindia Belanda. Namun, masa studinya di sana tidak berlangsung lama. Akibat keterbatasan tenaga kerja, Departemen Urusan Ekonomi Hindia Belanda memintanya segera kembali ke Tanah Air untuk melanjutkan pengabdiannya.

Setibanya di Indonesia, Margono mengabdi di Departemen Urusan Ekonomi hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, beliau menerima amanah besar sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Dalam posisi ini, tugas utamanya adalah memberikan nasihat strategis kepada presiden dan wakil presiden, menunjukkan betapa besar kepercayaan negara kepadanya di masa-masa awal kemerdekaan.

Mendirikan BNI

Sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), Margono Djojohadikusumo memainkan peran krusial dalam fondasi ekonomi negara. Mengutip dinarpus.banyumaskab.go.id, beliau mengusulkan pembentukan sebuah bank sentral atau bank sirkulasi, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Visi strategis ini langsung mendapat dukungan penuh. Pada 16 September 1945, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan mandat langsung kepadanya untuk mempersiapkan pembentukan Bank Sentral Negara Indonesia.

Langkah konkret segera diambil. Hanya berselang tiga hari, pada 19 September 1945, sidang Dewan Menteri menghasilkan keputusan bersejarah: membentuk sebuah bank milik negara yang akan berfungsi sebagai bank sirkulasi. Puncak dari upaya ini adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 1946 pada 15 Juli 1946, yang secara resmi mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI). Seiring dengan tonggak sejarah ini, tidak ada pilihan lain selain menunjuk Margono Djojohadikusumo sebagai Direktur Utama BNI yang pertama, sebuah pengakuan atas keahlian dan kontribusinya. Kemudian, pada tahun 1970, status hukum bank ini ditingkatkan menjadi persero, menandai babak baru dalam perjalanannya sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia.

Pilihan Editor: Untung-Rugi Ekspor Listrik ke Singapura

Tags:

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar