PDIP vs Fadli Zon: Tulis Ulang Sejarah, Perang Narasi Memanas!

devisella116@gmail.com

0 Comment

Link

PERNYATAAN kontroversial Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang menegaskan ketiadaan bukti kasus rudapaksa massal dalam peristiwa Mei 1998, sontak memantik gelombang kecaman dari berbagai pihak. Sorotan tajam terutama datang dari Koalisi Masyarakat Sipil dan para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) yang menuntut kejelasan dan pertanggungjawaban.

Kritik pedas turut dilontarkan oleh Ketua DPP PDIP, Bambang Wuryanto, yang akrab disapa Bambang Pacul. Menyoroti proyek penulisan ulang sejarah yang diinisiasi Kementerian Kebudayaan (Kemenbud), Bambang Pacul berpendapat bahwa unsur subjektivitas pasti akan mendominasi proses tersebut. “Ini soal penulisan sejarah, subjektivitas pasti ikut campur, 100% ikut campur subjektivitas, kan begitu. Jadi siapapun yang akan menulis pasti akan ada kontranya,” tegas Bambang Pacul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (16/6/2026).

Lebih lanjut, Bambang Pacul menyatakan sikap tegas PDIP dalam menghadapi inisiatif penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan. “PDI Perjuangan juga akan menulis sejarah,” ujarnya, mengindikasikan bahwa partai tersebut akan menyusun narasi sejarah tandingan yang mungkin akan berhadapan dengan versi pemerintah.

Meskipun demikian, Kepala Kantor Komunikasi Presiden (PCO), Hasan Nasbi, mengimbau masyarakat untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan terkait proses penulisan ulang sejarah yang sedang dijalankan Kementerian Kebudayaan. Menurutnya, publik sebaiknya memberikan waktu kepada para ahli sejarah untuk menyusun ulang narasi kebangsaan, sembari tetap dapat mengawal secara langsung seluruh prosesnya.

Di sisi lain, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menyampaikan penyesalan mendalam atas pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal, dalam peristiwa Mei 1998. Pernyataan tersebut dinilai Koalisi, termasuk Direktur Eksekutif Amnesty International, mengindikasikan sikap nirempati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama korban. “Pernyataan Fadli Zon menunjukkan sikap nirempati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama korban. Ia telah gagal dalam memahami kekhususan dari kekerasan seksual dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, terlebih lagi ada kecenderungan untuk secara sengaja menyasar pihak yang dijadikan korban, yaitu perempuan Tionghoa,” demikian kutipan dari keterangan resmi Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas.

Menanggapi berbagai kecaman, Fadli Zon memberikan penjelasan terkait pernyataannya soal dugaan pemerkosaan massal Mei 1998. Ia menegaskan bahwa huru-hara yang terjadi pada 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan silang pendapat, termasuk perdebatan mengenai ada atau tidaknya perkosaan massal. Menurutnya, bahkan liputan investigatif sebuah majalah terkemuka pada masa itu pun gagal mengungkap fakta-fakta kuat mengenai dugaan pemerkosaan massal.

Fadli Zon juga menambahkan, “Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri,” jelasnya melalui akun media sosial X, menekankan pentingnya verifikasi data yang akurat demi menjaga reputasi bangsa.(jpc/net)

Tags:

Share:

Related Post

Tinggalkan komentar